DARI DEMONSTRASI KE PERS MAHASISWA
Mengapa UKPM lahir
Munculnya aksi besar-besaran mahasiswa Indonesia di era 1970-an telah mendatangkan malapetaka bagi perjalanan pergerakan mahasiswa sesudahnya. Betapa tidak, munculnya aksi tersebut telah membuat petinggi Negara, para dedengkot orde baru kebakaran jenggot.
Maka, tahun 1977 mencatat sejarah hitam bagi pergerakan mahasiswa Indonesia. Hal itu ditandai dengan terbitnya SK malapetaka no. 028 dari menteri pendidikan yang saat itu dipegang Syarif Thayeb. SK itu mengultimatum mahasiswa untuk tidak lagi melakukan gerakan politik, demonstrasi dan pawai-pawaian.
Namun, SK 028 itu tidak mempan. Aksi terus berlanjut. Bahkan sudah mengarah ke makar (versi orde baru). Mahasiswa sudah berani menuntut soeharto mundur dari jabatan empuknya. Merasa SK 028-nya belum manjur meredam aksi mahasiswa, pemerintahan orde baru kembali melancarkan “bom atom” dengan meluncurkan SK 0156/U/1978 dari Mendikbud. Isinya, normalisasi kehidupan kampus (NKK) dan Badan Kordinasi Kampus (BKK). SK itulah yang kemudian mencekik mahasiswa. Pemerintah bersama dengan rector dan pimpinan Perguruan Tinggi tampil sebagai pencengkram mahasiswa. Mahasiswa nyaris tak berkutik.
Di tengah ketakberdayaan gerakan mahasiswa itulah, muncul segelintir mahasiswa yang rindu akan suasana lain. Suasana selain kuliah, diskusi seminar dan huru-hara. Suasana yang dikenal dengan demonstrasi. Suasana untuk mengatakan “yang benar walaupun pahit”. Namun, untuk menyuarakan kebenaran lewat demonstrasi dan mimbar bebas, resiko besar terlalu berat. Usia kemahasiswaan bisa terancam. Maka sejumlah mahasiswa menyalurkan suara nuraninya lewat jalur lain. Jalur yang kemudian disebut dengan gerakan pers mahasiswa.
Impian yang Terus Terpendam
Tidak terkecuali di Unhas, semangat dan teriakan nurani melihat penderitaan rakyat dari kesewenang-wenangan pemerintah orde baru memanggil sejumlah mahasiswa untuk membentuk perkumpulan pers mahasiswa Unhas.
Maka, di era 80-an telah bertebaran media alternative di beberapa fakultas di Unhas. meski harus main kucing-kucingan dengan… dan pimpinan fakultas, dengan semangat idealism pers-pers mahasiswa yang bertebaran di setiap fakultas terus menderingkan suara-suara nurani, memperdengarkan amanat penderitaan rakyat. Rakyat Indonesia. Rakyat yang lanang yang agaknya suda ditakdirkan untuk terus mengalami nasib penjajahan. Dari penjajahan Belanda ke penjajahan orde baru.
Maraknya media-media dan terbitan di beberapa fakultas di Unhas, mengilhami sejumla dedengkot aktifis pers mahasiswa untuk membentuk ikatan solidaritas, guna menghimpun kekuatan menghadapi intimidasi-intimidasi dari pihak-pihak yang anti kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Ide pembentukan wadah pers mahasiswa se-Unhas itu makin mengental sejak tahun 1987. Namun, kendala-kendala birokrasi kampus yang merupakan perpanjangan tangan dari rezim orde baru ketika itu harus membuyarkan ide-ide tersebut. Mereka yang mengidam-idamkannya harus menelan ludah kerinduan hingga beberapa tahun kemudian. Hingga para generasi awal, “the founding fathers” pers mahasiswa meninggalkan Unhas tanpa berhasil mewujudkan kehadiran wadah pers mahasiswa se-Unhas.
Akan tetapi Tuhan selalui merestui dan memberi jalan lapang bagi mereka yang memperjuangkan nasib hambanya yang lemah. Generasi kedua aktifis pers mahasiswa Unhas kembali bermunculan. Mereka tetap merindukan dan memperjuangkan lahirnya wadah pemersatu pers mahasiswa se-Unhas.
Impian yang Jadi Kenyataan
Laksana pucuk dicinta ulam pun tiba. Pelaksanaan LJIR yang ketika itu diikuti 22 peserta dari utusan beberapa fakultas dui Unhas dianggap sebagai momen tetap untuk mewujudkan impian yang selama ini terpendam. Kehadiran Basri Hasanuddin, rector Unhas ketika itu, dalam acara tersebut, merupakan detik-detik yang sangat menentukan bagi lahirnya wadah pers mahasiswa se-Unhas.
Para aktifis pers mahasiswa Unhas tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Kesempatan yang cukup langka didapatkan pada masanya. Di mana rector ketika itu cenderung kurang respek dengan kegiatan-kegiatan semisal itu. Para aktifis mahasiswa itu mendaulat Basri Hasanuddin untuk memberikan “ia” bagi impian yang selama ini mereka idam-idamkan.
Entah terjebak atau tidak. Terpaksa atau ikhlas, yang jelas ketika itu Basri Hasanuddin “mengiyakan” keinginan sejumlah aktifis pers mahasiswa Unhas ketika itu. Lampu hijau yang diberikan Basri Hasamuddin itu ibarat “ekstra joss” bagi mereka.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, konsolidasi dan kordinasi makin mereka perketat. Volume pembicaraan dan penggodokan tentang format lembaga pers kampus makin mereka tingkatkan. Namun, impian itu tidak segera terwujud.
Pepatah kuno mengajarkan, sesuatu yang besar mesti dicapai dengan pengorbanan dan penderitaan yang besar pula. Setidaknya para pemimpi lahirnya lembaga pers mahasiswa Unhas, harus berkorban perasan dan waktu serta materi untuk terus menggodok dan menggodok. Namun, dewi fortuna masih enggan untuk berpihak secepatnya. Berbagai kendala terus membelit usaha mereka. Setidaknya mereka terus menunggu dan bermimpi hingga memasuki tahun 1994.
Tahun 1994 tercatat sebagai tahun yang penuh arti dan bersejarah abgi lembaga pers mahasiswa di Unhas. di mana pada tahun tersebut, para aktifis pers mahasiswa tela menyepakati sebuah komunike bersama. Kesepakatan dan persaksian nurani untuk melahirkan wadah penampung seluruh potensi jurnalistik di Unhas. kebutuhan akan hadirnya lembaga pers mahasiswa Unhas makin mereka rasakan. Apalagi ketika itu, rezim orde baru lagi “buas-buasnya” memperlakukan rakyat Indonesia.
Penggodokan konsep pun terus berlanjut. Kali ini dengan mengundang para duta-duta penerbitan kampus di tingkat Senat dan HMJ. Di antaranya yang sempat tercatat, majalah Agrovisi dari Senat Pertanian, majalah Baruga dari Komunikasi Fisip, majalah Nurani dari MPM, Channel 9 dari Teknik dan SKK Identitas.
Ulang-tahun SKK Identitas di Puskadik P5 juga dimanfaatkan untuk membahas lebih jauh rencana pembentukan wadah lembaga penerbitan pers mahasiswa tersebut. Dari diskusi itu, disepakati membentuk tim 7 yang diketuai Muh. Syaiful Bahri (sekarang di Harian Binabaru Makassar). Tim 7 ini bertugas melakukan lobi dan negosiasi dengan para petinggi Unhas untuk merestui niat tersebut. Tim 7 ini juga ditugaskan untuk meminta saran dan masukan dari para dedengkot aktifis pers mahasiswa yang sudah “almarhum” dari dunia kemahasiswaan.
Di antara nama-nama yang sempat tercover yang memberi masukan dan saran serta aktif di tim 7 tersebut: Andi Ilham Paulangi (alumni Sastra), Sapri Pamulu (alumni Teknik), Amril Taufik Gobel (alumni Teknik), Arqam Azikin (alumni Fisip), Nasrul Tanjung (alumni Teknik), Herwin (alumni FIsip), Syamsu Rijal (alumni Fisip), Sukirman dan beberapa aktifis pers mahasiswa Unhas lainnya yang tidak sempat tersebut namanya.
Setelah ada kata sepakat, langkah selanjutnya diadakan pertemuan segi-tiga (Purek III, Tim 7 dan para senior aktifis pers mahasiswa). Dari pertemuan segi-tiga emas itulah dilahirkan kesepakatan mendirikan unit kegiatan di tingkat Universitas bernama UKM Pers.
Periode 1995-1996
Main Kucing-kucingan dengan Pimpinan Universitas
Kini impian dan penderitaan serta pengorbanan para aktifis pers mahasiswa sudah terwujud. Paling tidak sudah ada pengakuan nama dari pimpinan Universitas. Namun, bukan berarti perjalanan mereka sudah mulus. Sejumlah kendala birokrat masih terus membelenggu perjalanan dan aktifitas mereka selanjutnya.
Kendala besar yang mereka hadapi setelah terbentuknya UKM Pers itu adalah, ketidak-restuan pimpinan Universitas dengan nama “Pers Mahasiswa”. Agaknya, pimpinan Universitas yang ketika itu masih terpaksa tunduk pada ketentuan rezim Orde Baru masih sangat takut dengan nama besar Pers Mahasiswa.
Sepak terjang Rahman Tolleng dan Soe Hok Gie dengan pers mahasiswa-nya, di era 1974-1978 yang berandil besar menumbangkan Orde Lama masih menjadi trauma sejarah bagi rezim orde baru kala itu. Mau tidak mau, pimpinan Universitas apriori terhadap nama UKM Pers tersebut. Pihak Universitas bahkan mengancam, tidak mengizinkan “ada” jika nama sakral dan menyeramkan—bagi mereka—itu tidak dikuburkan.
Kenyataan tersebut membuat para aktifis dan pendiri UKM Pers tegang. Pro kontra bermunculan di antara mereka. Ada yang mau ngotot dengan nama besar Pers Mahasiswa itu, dan ada juga yang bersifat sedikit melunak. Perdebatan alot kembali mewarnai aktifitas keseharian para aktifis pers mahasiswa ketika itu.
Akhirnya, dengan berprinsip “apalah arti sebuah nama”, sambil mempertimbangkan sisi politisnya, maka nama tepat pada tanggal 2 Februari 1995, UKM Per situ merka ganti dengan nama UKM Media. Nama boleh berbeda, namun isi dan semangat tetap sama.
Perubahan nama dari UKM Pers (UKMP) menjadi UKM Media (UKMM) juga diiringi dengan pembentukan struktur pengurus baru. Nakhoda kepengurusan UKMM untuk pertama kalinya dipercayakan kepada Nasrul Tanjung, wakil ketua Syaiful Bahri (mahasiswa Kosmik Fisip) dan sekretaris umum Marhamah Nadir. Melalui SK Rektor nomor 1065/PT/04.H3/0/1995 dan dilantik pada tanggal 9 Februari. Tanggal 9 februari itulah yang kemudian diperingati sebagai hari ulang tahun Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas setiap tahunnya.
Kepengurusan Nasrul Tanjung, periode 1995-1996, UKM Media belum mampu melakukan eksistensinya. Nasib UKMM masih harus melakukan pembenahan secara internal. Namun kepengurusan periode ini dianggap sebagai penanam bibit harapan cerah bagi perkembangan UKMM selanjutnya.
Kondisi seperti itu berlanjut hingga diadakannya Diklat Jurnalistik dan Kaderisasi I di pertengahan tahun 1995. Hasil dari diklat dan kaderisasi I itulah yang kemudian melahirkan aktifis-aktifis pers mahasiswa yang kini banyak mewarnai dunia pers di Makassar pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Dalam kepengurusan periode inilah juga untuk pertama kalinya diterbitkan tabloid mahasiswa Unhas, CATATAN KAKI, dengan motto, Kaki Tangan Demokrasi. Sebuah tabloid yang kemudian hari menjadi momok tersendiri bagi para pembesar Universitas dan pejabat di daerah Sulsel dan menjadi hantu yang ditakuti di republik ini, paling tidak di masa “jaya-jayanya rezim Orde-baru”. Tidak puas dengan hanya CATATAN KAKI, para pengurus UKMM kembali mengadakan radio kampus yang pertama hadirnya bernama lagaligo. Belakangan berubah nama menjadi SUAKA (Suara Kampus). Namun, harapan profesionalisme masih menjadi impian panjang.
Periode 1996-1997
Dari UKMM ke UKPM ke UKPPM
Setelah kepengurusan Nasrul Tanjung lengser, kepengurusan selanjutnya, periode 1996-1997, UKM Media dinakhodai oleh Agung Yusuf (mahasiswa 1993), sebagai ketua umum, sekretaris umum Muh. Yamin (Pertanian 1992) dan kordinator Dewan Pers, Andi Wahyudin Jalil, (Fakultas Hukum, kini jadi pengacara muda berbakat di Jakarta). Periode ini kembali para aktifis pers dan pengurus UKMM harus berhadapan dan bermain kucing-kucingan dengan pimpinan Universitas.
Musyawarah Besar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKMM) merekomendasikan untuk kembali memakai nama UKPM (Unit Kegiatan Pers Mahasiswa) alias UKM Pers. Rekomendasi tersebut kembali membuat kuping pembesar Unhas merah. Tanggapan dan kecaman kembali mendera pengurus UKMP/UKPM. Tawaran demi tawaran, di antara berbau intimidasi, membuat nama UKPM hanya bisa bertahan sekitar satu bulan. Dengan alasan klasik yang sudah using tapi masih cukup ampuh itu. Akhirnya pengurus UKPM kembali harus menerima kenyataan, dengan berbesar hati, demi masa depan UKPM, maka nama yang sangat ditakuti pejabat itu kembali diganti menjadi UKPPM (Unit Kegiatan Penerbita dan Penyiaran Mahasiswa). Nama inilah yang bisa bertahan hingga memasuki alam reformasi.
Pada periode ini, keberadaan UKPM yang sudah berubah nama menjadi UKPPM makin beragam. Eksistensinya makin Nampak. Keberandaannya makin diakui. Hal itu diperkuat dengan munculnya sejumlah tokoh-tokoh demonstran Unhas yang merupakan dedengkot dari UKPPM. Di antaranya yang sempat menggegerkan Unhas, Mohd. Isradi Zainal, Nasrul Tanjung, Ostaf Al-Mustafa, Andi Wahyuddin Jalil, Akbar Endra, Maqbul Halim, Hasbi L, Adi Ahsan Anwar, Suparno, dan sejumlah demonstran lainnya yang tidak sempat disebut satu persatu.
Sehingga muncul anggapan bahwa markas besar UKPPM yang sebenarnya sangat sumpek dan sempit itu sebagai tempat mangkalnya para demonstran. Memang diakui atau tidak, sejumlah perkumpulan pergerakan lahir dari para pengurus dan aktifis UKPPM. Di antaranya AMPD, FM ANAK (Forum Mahasiswa Anti Nepotisme dan Anti Kekerasan), lahir tahun 1997. Yang digagas oleh Ahdi Ahsan, Syawaluddin Arief dan A.S. Kambie.
Dinilai gerombolan dan lahirnya hari tragedi mahasiswa nasional
Sejumlah aksi besar dan menggegerkan digodok di markas UKPPM. Di antaranya aksi solidaritas tewasnya mahasiswa UMI akibat kenaikan sewa pete-pete. Tak urung kasih tersebut membuat Pangdam VII Wirabuana, Mayjend Sulatin, harus kehilangan jabatannya sebelum waktunya. Walau Akbar Endra, salah seorang pengurus dan pendiri UKPPM harus tertikam dan sempat mengalami perawatan intensif di rumah sakit. Aksi Anti Pajero, Aksi Anti Kekayaan Pejabat yang menyebabkan Hakamuddin Djamal, Sekwilda saat itu berurusan dengan pengadilan, aksi pengembalian nama Makassar untuk pertama kalinya, semuanya lahir dari pemikiran para aktifis pers mahasiswa yang banyak-banyak berdiskusi di secretariat UKPPM.
Sehingga aktifis UKPPM ketika itu tak ubahnya sebagai “kaum kiri” di kampus merah, Unhas. mereka dianggap kaum oposisi oleh para pengurus lembaga di Fakultas. Apalagi setelah terbentuknya Solidaritas Mahasiswa Unhas yang beranggotakan para ketua senat se-Unhas. Bahkan Amran Razak, Pembantu Rektor III Unhas, dengan gamblang menganggap para aktifis pers mahasiswa yang notabene para pengurus dan pemerhati UKPPM sebagai “gerombolan”. Karena sikap dan kebijakan mereka sering berbenturan dengan sikap dan kebijakan ketua-ketua lembaga dan petinggi Universitas.
Salah satu program kerja yang cukup monumental dalam periode ini, dengan digelarnya kegiatan PENA EMAS ’96 (Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa). Tak kurang 20 lembaga penerbitan kampus se-Indonesia menghadiri acara tersebut. Dalam kegiatan ini, dilaksanakan sarasehan aktifis pers se-Indonesia.
Tak urung kegiatan ini menyebabkan UKPPM harus berurusan dengan PWI Pusat. PWI Pusat enggan nama PENA EMAS dipakai untuk kegiatan tersebut. Karena nama tersebut merupakan penghargaan tertinggi bagi wartawan Indonesia, dan PWI merasa dilecehkan dengan dipakainya nama itu. Kekeraskepalaan pengurus UKPPM untuk mempertahankan nama itu membuat sejumlah pembicara penting dari Jakarta, yang umumnya para pengurus PWI tidak bersedia hadir.
Sastu sejarah bagi pergerakan mahasiswa Indonesia kembali lahir dari kegiatan Pena Emas ini. sejumlah aktifis pers mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia melakukan ikrar dan kebulatan tekad bersama untuk melakukan aksi solidaritas dan turut berduka cita atas gugurnya 3 mahasiswa UMI sebagai akibat dari keteledoran tentara, bulan April 1996 (Amarah ’96).
Sesuai kesepakatan para aktifis pers mahasiswa sei-Indonesia saat itu, Amarah ’96 (April Makassar Berdarah), ditetapkan sebagai hari tragedi Mahasiswa Nasional. Hal itu ditandai dengan cap jempol darah bersama di salah satu kuburan korban amarah ’96 di pekuburan Islam, Panaikang Makassar.
Periode ini pula dikenal sebagai periode galak-galaknya Tabloid CATATAN KAKI, yang waktu itu masih berbentuk majalah. CATATAN KAKI yang waktu itu dipegang Suparno sebagai pemimpin redaksi dan Baharuddin sebagai Redaktur Eksekutif, harus berurusan dengan Kodam karena berita-beritanya yang sering menyambar kuping militer. Para intel kasat-kusut mengusut keberadaan dan waktu terbitnya. Beberapa kali majalah CATATAN KAKI mengalami pembredelan. Baik oleh pihak rektorat, maupun oleh pihak Kodam. Bahkan pernah disket yang sudah seharusnya naik cetak dicuri di percetakan. Karena banyaknya tenaga terkuras, sehingga CATATAN KAKI mengalami beberapa kali pergantian struktur redaksi. Dari Suparno (Sastra), ke Anwar (Hukum), sebagai Pimred dan Rusman Manyyu sebagai redaktur pelaksana.
Kenyataan tersebut membuat UKPPM makin akrab dengan gelar yang diberikan oleh petinggi Universitas sebagai kelompok “gerombolan” atau UKM “Demo-Demo”, gelar abadi yang diberikan oleh Drs. Sahali Baddum, Kabiro Kemahasiswa Unhas.
Periode 1997-1998
Penerus ‘97
Tahun 1997-1998, tongkat estafet diteruskan ole Suparno (Mahasiswa Sastra Indonesia ’94) sebagai ketua umum, Burhanuddin (Mahasiswa Teknik Mesin ’94), sekretaris Umum, Kordinator Dewan Pers Agung Yusuf dan Baharuddin, sebagai Pimpinan redaksi CATATAN KAKI, Muannas (Mahasiswa Kosmik) kini sebagai pimpinan redaksi Tabloid FOKUS dan koresponden majalah TAJUK untuk wilayah Makassar dan sekitarnya.
Dalam kepengurusan ini, UKPPM terus berbenah diri dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif, tanpa mengabaikan karakter aslinya, radikal tanpa kompromi, demi kejujuran, kebenaran dan keadilan. Dengan semangat idealism pers dan moral pers mahasiswa, segala kendala diatasi dengan mudah.
Kepengurusan ini juga kembali mengukir sejarah dengan suksesnya melakukan kegiatan berskala nasional, PENERUS ’97 (Pekan Nasional Penerbitan Kampus). Wwalau kondisi Unhas waktu itu sementara mencekam dengan terjadinya tawuran beruntun antar fakultas, namun kegiatan PENERUS yang berpusat di lantai I rektorat tetap jalan. Banyaknya program kerja dalam kepengurusan ini membuat majalah CATATAN KAKI dan SUAKA FM sedikit stagnan.
Aksi solidaritas dan peringatan tahun dibreidelnya majalah TEMPO, EDITOR dan DETIK oleh pemerintah orde baru merupakan agenda tahunan yang selalu diperingati dalam bentuk diskusi dan sarasehan. Salah satu peringatan tersebut sempat menghadirkan Dr. Alfian Mallarangeng bersama Prof. Dr A Muis dan Tomi Lebang. Tudang Sipulung di pelataran PKM I lantai I menjadi kegiatan yang selalu mengisi program kerja dalam kepengurusan ini. berbagai pakar di Makassar dihadirkan. Tokoh LSM turut mewarnai kegiatan-kegiatan tersebut.
Periode 1998-1999
Menolak Pencalonan Soeharto Sebagai Presiden RI
Dalam Musyawarah Besar III Februari 1998, untuk periode 1998-1999, tampuk kepengurusan dipegang oleh Baharuddin (Bahar M. Kutana), mahasiswa Sastra Asia Barat angkatan ’94 sebagai ketua umum dan Humaerah (sastra Inggris ’94) sebagai sekretaris umum. Kordinator Dewan Pers dipegang oleh Rahman Karim (Hukum) dan Pimpinan Redaksi CATATAN KAKI kembali dipegang oleh Suparno.
Dalam Musyawarah Besar UKPPM, direkomendasikan kepada pengurus untuk menolak Soeharto untuk kembali dicalonkan sebagai Presiden RI. Ketika itu, yang namanya Soeharto sekeluarga masih merupakan momok besar bagi pergerakan mahasiswa Unhas. meskipun hal itu bukan tuntutan baru bagi aktifis pers mahasiswa Unhas.
Maka sesuai dengan amanah rekomendasi, pengurus UKPPM ketika itu, mengeluarkan press release, menolak Soeharto sebagai calon Presiden RI 1998. Bahkan pengurus UKPPM sempat membuat baju kaos berwarna putih dengan tulisan “Menolak Jenderal “S” sebagai Presiden RI, sebuah kegiatan yang dinilai makar saat itu. Bukan Cuma sekadar itu, para pengurus UKPPM membentuk KAMUH (Kesatuan Mahasiswa Unhas) di bawah kordinator Hasbi L, sempat melakukan demonstrasi yang sangat mendebarkan di masanya. Jalan protocol, Urip Soemohardjo menjadi saksi bisu. Ketika mengarak spanduk bertuliskan, “Gantung Soeharto” sepanjang jalan.
Ketika Soeharto sekeluarga masih dianggap “macan lapar” oleh media umum, maka ketika itu CATATAN KAKI, sudah terbit dengan kritikan-kritikan pedasnya kepada Soeharto cs. Di antaranya sempat dijadikan Laporan Utama, “Macetnya Soehartokrasi”, “Soeharto dan Militerorisme” serta laporang tentang harta kekayaan dan yayasan-yayasan serta perusahaan-perusahaan Soeharto beserta konco-konconya.
Keterbatasan dana, sehingga CATATAN KAKI yang hanya dicetak 500 eksamplar, terpaksa difotocopy guna memenuhi permintaan masyarakat. CATATAN KAKI pada saat ini, sebagai majalah yang berani menyampaikan kebenaran tanpa “takut” dibreidel, menjadi bacaan alternatif di Makassar.
Menjadi lokomotif gerakan
Ketika teriakan reformasi makin berdengung di republik ini, UKPPM tidak ketinggalan. Atas prakarsa pengurus periode ini, UKPPM “memaksa” sejumlah Guru Besar Unhas, di antaranya Prof. Dr. A Muis, Prof. Dr Mattulada, Prof Dr Halide dan sebagainya, untuk melakukan mimbar akademik, meneriakkan reformasi dari kampus merah untuk pertama kalinya di pelataran gedung Rektorat Unhas.
Bukan cuma sampai di situ, pengurus UKPPM juga menerbitkan harian WANTED yang mengcover semua kegiatan reformasi setiap harinya di bumi Makassar, yang hingga kini masih tersimpan apik di tangan para kader UKPPM dan menjadi saksi sejarah. Kelak menjadi sangat dibutuhkan untuk dijadikan bahan-bahan dalam menelusuri sejarah perjuangan mahasiswa dan rakyat Makassar dalam reformasi.
Kelihaian dan keotentikannya dalam mengcover berita dan peristiwa yang berkembang menjadikan UKPPM, CATATAN KAKI, kerap dijadikan bahan rujukan oleh para peneliti nasional.
CATATAN KAKI berubah
Euphoria reformasi, di mana kran kebebasan, termasuk kebebasan Pers dan Grafika membuat orang yang selama ini bungkam kembali bersuara lantang. Tabloid dan media lokal bermunculan dengan suara yang sangat lantang. Fenomena tersebut, membuat CATATAN KAKI, karena keterbatasan dana, kewalahan.
Maka pada pertengahan pengurus ini, kepemimpinan CATATAN KAKI diserahterimakan kepada M. Idris (Kosmik ’94) sebagai Pimred. Faisal A. Taqwa dan Nirma Hasyim, sebagai Redaktur Pelaksana. Tampilnya Idris sebagai Pimred, membawa perubahan besar bagi CATATAN KAKI.
Berdasar atas fenomena yang berkembang, maka pengurus memandang perlu untuk melakukan perubahan nama dalam CATATAN KAKI. Maka melalui rapat pengurus di Kelurahan Attangsalo, Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep, pengurus mengeluarkan rekomendasi nomor 030/C/UKPPM-UH/98, guna memandatir kepada masing-masing: Agung Yusuf (kordinator), Anwar, Muannas, Suparno dan M. Idris, sebagai Tim Penggodok dan penyusun tim Tabloid Mahasiswa CATATAN KAKI.
Hasil godokan tim tersebut kemudian dirapatkan pada tanggal 10 Oktober 1998 di kampus Unhas. sejak itu, CATATAN KAKI yang terbit 10 kali dalam bentuk majalah, berubah menjadi Tabloid. Untuk pertama kalinya CATATAN KAKI terbit dalam bentuk Tabloid pada edisi 11 Januari 1999.
Menjadi rujukan peneliti nasional, disomasi dan tempat pengaduan rakyat
Meski media lokal sudah bertebaran dengan suara lantang, namun CATATAN KAKI dengan cirri khasnya tetap tampil beda di tengah-tengah euphoria pers. Terbukti edisi perdana dalam bentuk Tabloid, Laporan Utama CATATAN KAKI, “Mahasiswa Berjuang dan Berjuang”, menjadi salah-satu rujukan seorang peneliti nasional dan beberapa penulis buku tentang secara pergerakan mahasiswa Indonesia.
Selain itu, salah-satu rubriknya, Rubrik Aspirasi, yang mengangkat “Soeharto Kecil dari Lalabatariaja”, sempat mendapat Somasi dari Pemda TK II Soppeng. Karena rubrik tersebut mengabarkan keterlibatan Pemda setempat dalam pencaplokan tanah rakyat di tanah Balengge, desa Lalabatariaja, Donri-donri Soppeng. Naiknya berita tersebut merupakan hasil investigasi, setelah sebelumnya warga Lalabatariaja mendatangi markas UKPPM, mengadukan nasibnya. Namun somasi itu akhirnya premature, setelah pengurus UKPPM menyatakan lewat media, siap ke PTUN.
Dijadikannya markas UKPPM sebagai tempat pengaduan rakyat yang dirampas haknya, bukan sekali itu. Beberapa bulan sebelumnya sejumlah warga mendatangi UKPPM, mengadukan halnya. Termasuk beberapa tahun sebelumnya, warga Lae-Lae dan Karuwisi juga melakukan hal yang sama. Hal itu menandakan bahwa keberadaan UKPPM makin dekat dengan rakyat kecil, serta makin mendapat tempat di hati mereka.
Periode 1999-2000
Kembali ke Khittah dan Tetap Oposisi
Periode 1999-2000, berdasar Musyawarah Besar di GPI, kepemimpinan UKPPM diserahterimakan kepada M. Idris, sebagai ketua Umum dan Faisal A. Taqwa sebagai sekretaris umum. CATATAN KAKI dialihkan kepada A.S. Kambie (Sastra Arab ’96) sebagai pemimpin redaksi dan Hayati Maulana Nur (Ekonomi ’96), Nirma Hasyim (Hubungan Internasional ’95) sebagai redaktur pelaksana. Dalam kepengurusan ini, kembali menorehkan sejarah tersendiri bagi pers mahasiswa Unhas.
Tonggak sejara kembali terukir indah nan gemilang bagi pers mahasiswa Unhas, dengan kembalinya nama UKPPM menjadi UKPM (Unit Kegiatan Pers Mahasiswa). Dan asasnya yang sebelumnya Pancasila, berubah menjadi asas Sosialis Demokrat.
Awal periode yang ini ditandai dengan kegiatan South Sulawesi Broadcasting Contest. Kegiatan yang diketuai oleh Sulviayani Suardi(Kosmik ’97) dan Haslinda (Fisika ’96) sebagai sekretaris ini berupa lomba menyiar dalam bahasa Inggris berlangsung pada bulan Juni 1999, bekerjasama dengan RRI Makassar.
Kegiatan lainnya berupa penerbitan Tabloid CATATAN KAKI. Hingga buku kecil ini ditulis CATATAN KAKI sudah memasuki edisi ke-15.
Selain itu, pelatihan Jurnalistik di Sekolah Menengah Umum makin digalakkan. Serta kegiatan dalam bentuk kajian dan diskusi makin diintesifkan. Kendala besar yang dihadapi pengurus dalam periode ini, keterlibatan para kader UKPM di sejumlah media lokal dan nasional. Tidak bisa dipungkiri, maraknya penerbitan umum, menjadikan UKPM sebagai tetmpat permintaan rerporter dan staf redaksi oleg media-media tersebut. Keaktifan kader UKPM tersebut, menyebabkan penerbitan CATATAN KAKI dikelola ole para kader lepasan diklat dan kaderisasi muda. Namun bukan berarti CATATAN KAKI menurun. Kehadiran kader muda ini menjadi nuansa tersendiri dengan semangat mudanya masing-masing.
Di bawah kepemimpinan A.S. Kambie, CATATAN KAKI tampil dengan gaya analisis faktuil. Berusaha menguak berita di balik berita sebuah berita. Edisi ke-13 CATATAN KAKI tampil dengan Laput: “Marxisme Menghantui Indonesia”, edisi selanjutnya tampil dengan edisi khusus, “Stop Budaya Kekerasan”.
Di penghujung 1999, UKPM kembali melakukan aksi. Kali ini, mereka tampil menggugat kepemimpinan Gus Dur. UKPM Unhas membentuk Barisan Oposisi Mahasiswa (BOM) dan Ampera (Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat).
Kedatangan Gus Dur di kota Makassar, 30 Desember 1999, tidak mereka sia-siakan. Mereka kembali membuktikan diri sebagai demonstran sejati yang tidak mengenal kompromi. Dengan menggelar spanduk “Seret Gus Dur ke Sidang Istimewa”, beberapa aktifis UKPM mencegat iring-iringan Gus Dur di pintu I Unhas. iring-iringan sacral itu sempat tertahan 15 menit. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sempat “memukul” mobil Indonesia I yang ditumpangi Gus Dur. Sayang aksi tersebut tidak sempat diliput media. Karena media pada saat itu berkosentrasi di Balai Manunggal TNI rakyat. Kegiatan tersebut bukan berarti karena kebencian teradap Gus Dur. Tetapi lebih karena cinta kepada Gus Dur, bangsa dan Negara. Kegiatan tersebut hanya dimaksudkan sebagai bahan kritikan bagi pemerintahan Gus Dur.
Di penghujung kepengurusan ini, kembali melangsungkan sebuah kegiatan besar berskala nasional, “Kampanye Rekonsiliasi Nasional”, perspektif seni budaya dan teknologi. Berlangsung di Gedung Penelitian Ilmiah Unhas, pada tanggal 25 Januari 2000, dengan menampilkan Sudirman HN, sebagai moderator, Seno Gumira Aji Darma, Aslan Abidin, Mochtar Pabottingi dan Prof Dr Fachruddin Ambo Enre, sebagai pembicara. Acara yang merupakan kerja-sama dengan yayasan Sains dan Estetikan (SET), Jakarta ini juga menampilkan Cuplikan Film “Puisi Tak Terkuburkan” karya Garin Nugroho. Disiarkan oleh radio Telstar-Makassar.
Hari-hari terakhir menjelang Musyawarah Besar dan pergantian pengurus, UKPM kembali melakukan kegiatan, ulang tahun UKPM, 2 Februari 2000 di Hotel Sahid, dirangkaikan dengan dialog sipakainge yang menampilkan pembicara Pangdam VII Wirabuana Mayjend Agus Wirahadikusumah.
Tanggal 7 Februari, dilangsungkan Musyawarah Besar UKPM di GPI Unhas. yang merupakan Mubes Pertama di tahun 2000, abad 21. Apakah terpilihnya pengurus baru nantinya akan kembali menorehkan tinta emas bagi dunia pers mahasiswa di tanah air. Nampaknya sejarahlah yang akan membuktikannya. Yang jelas, UKPM akan selalu bertekad, dengan semangat pers mahasiswa, UKPM akan selalu hadir dan mengalir untuk kejujuran, kebenaran dan keadilan. Dirgahayu UKPM yang ke-5. Millennium ketiga akan menantangmu dalam berjuang. Ratusan juta rakyat Indonesia menanti karya-karya dan baktimu. Viva pers mahasiswa Unhas. Viva UKPM Unhas. sampai di sini, UKPM masih sedang merekam sejarahnya. Periode 2000-2001 dan 2001-2002 (dan seterusnya) belum dapat terekspose.